Direktorat Pengembangan Usaha dan Inkubasi (Dit. PUI) menyelenggarakan Workshop Standardisasi Produk. Workshop dihadiri oleh Direktur Dit. PUI, Dr. Hargo Utomo, MBA, para peneliti UGM dari berbagai fakultas, seperti Kedokteran, Farmasi, Teknik, Peternakan, Pertanian, Pangan dan PT. GMUM. Tujuan utama workshop ini adalah untuk membuat produk yang terstandardisasi dan memilih strategi yang tepat dalam memberikan proteksi terhadap produk hasil penelitian dari para peneliti di UGM. Pembicara workshop adalah Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN), Prof. Dr. Bambang Prasetya dengan moderator Kasubdit. Pengembangan Usaha Dit. PUI, Widodo, S.P., M.Sc., Ph.D. Workshop dilaksanakan pada hari Kamis, 12 Desember 2013, bertempat di Ruang Bima Lantai I, hotel New Saphir Yogyakarta, dengan tema “Peran Standardisasi Produk untuk Mendukung Proses Inovasi dan Daya Saing Nasional”.
Beberapa hal yang dipaparkan oleh Prof. Dr. Bambang Prasetya adalah bahwa saat ini dunia sudah menjadi suatu sistem, misal: International Organization for Standardization (ISO), International Electrotechnical Commission (IEC) dan CODEX. Lembaga standarisasi saat ini: Badan Standardisasi Nasional (BSN), Komite Akreditasi Nasional (KAN), dan Komite Standardisasi Nasional Untuk Satuan Ukuran (KSNSU) sebanyak 56 negara. Banyak akademisi di Indonesia tidak menjadi anggota ISO, bahkan di bidang pariwisata juga tidak ada yang menjadi anggota ISO sehingga Indonesia hanya follower di International Standard. Standardisasi riset dan inovasi tidak bisa terpisahkan.
Di samping itu juga disampaikan mengenai standarisasi di Indonesia yang perlu untuk dicermati, seperti:
- Bagaimana standarisasi laboratorium pengujian? Apakah sudah terakreditasi?
- Daya saing saat ini berada di infrastruktur, misal: biaya transportasi yang menjadi tinggi disebabkan infrastruktur yang buruk.
- Indonesia mempunyai 56 juta UKM yang berproduk -> 60 % adalah makanan, namun standarisasi halal MUI hanya 15 %.
Strategi Cina, yaitu produk dari luar Cina dipermudah untuk masuk ke dalam pasar dalam negeri dan produk dari Cina dipermudah untuk di ekspor ke luar negeri. Tujuannya adalah produk dari luar Cina diimpor dan diproduksi lagi di dalam negeri, kemudian di ekspor ke luar negeri.
Alat proteksi perdagangan tidak sedikit jumlahnya, seperti Tarif Barrier, Quota, Technical Barrier dan Enviromental Barrier. Maka dari itu, peneliti Indonesia sebaiknya membuat riset bersama dengan peneliti luar negeri, sehingga apabila ada klaim mengenai produk indonesia, hasil penelitiannya dapat digunakan sebagai rujukan. Misal: isu Crude Palm Oil (CPO). Di sisi lain, para peneliti perlu untuk menghindari beberapa kesalahan, seperti:
- Tidak memperhatikan apakah bahan/ alat/ proses penelitian mengandung Hak Kekayaan Intelektual (HKI) orang lain.
- Tidak memperhatikan unsur keberterimaan.
- Tidak memperhatikan ketelusuran.
- Tidak update tentang perkembangan teknologi.
- Tidak cermat dalam menyusun klaim paten. Paten yang tidak cermat, yang diutamakan no. registrasi, dan menuju ke paten turunan. Hal tersebut sudah terlambat, karena pihak lain memiliki kesempatan untuk mematenkan point yang menjadi paten turunan.
Selanjutnya dapat diambil langkah-langkah dengan tujuan untuk minimalisasi kegagalan dalam penelitian, seperti:
- Risiko Teknis
- Reproducible
- Perlindungan teknologi
- Risiko Finansial
- Tekno ekonomi
- Keberterimaan
Contoh: IPB membuat Rusnas (pepaya). Diberi nama Rusnas tidak laku, kemudian dinamai California dan menjadi laku.
Roadmap Komersialisasi Hasil Riset
Dalam workshop standardisasi produk ini, terdapat beberapa hal yang menarik untuk didiskusikan, seperti:
- Cara melakukan standarisasi, sertifikasi dan kalibrasi.
- Cara melakukan branding suatu produk.
- Cara mempercepat proses standardisasi dan berapa lama waktunya. Paten dilakukan setelah uji produk atau uji pasar? Mengapa paten biayanya mahal?
- Hak inventor.
Dari diskusi tersebut, dapat diambil kesimpulan:
- Standardiasasi biayanya mahal, namun dapat menambah added value dan sekaligus melindungi produk.
- Penyusunan klaim paten harus cermat untuk proteksi produk.
- Proteksi produk dapat dilakukan dengan publikasi secara terbuka.
- Standardisasi disesuaikan dengan tujuan market produk, apakah nasional atau internasional.
- Diperlukan pembentukan lembaga sertifikasi di bawah Dit. PUI
Selanjutnya dilakukan workshop sesi kedua. Pembicara adalah Kabid. Pengujian LPPT UGM, Dr. Abdul Rohman, M.Si., Apt. dengan moderator Kasubdit. Pengembangan Usaha Dit. PUI, Widodo, S.P., M.Sc., Ph.D. dengan tema “Kegiatan Pengujian di LPPT-UGM Untuk Mendukung Standardisasi Produk”.
Beberapa hal yang dipaparkan oleh Dr. Abdul Rohman, M.Si., Apt. adalah bahwa di era perdagangan bebas, hambatan perdagangan yang berupa tarif, kuota maupun hambatan non tarif tidak dipakai lagi. Satu-satunya standar kriteria yang dipakai adalah standar mutu produk.
Spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan, disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait, dengan memperhatikan syarat-syarat kesehatan, keselamatan, perkembangan iptek serta berdasarkan pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Hal ini dikenal dengan metode Standar Nasional Indonesia (SNI). Saat ini, UGM sudah memiliki laboratorium terakreditasi di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT).
Aturan Komite Akreditasi Nasional (KAN) tentang laboratorium penguji untuk sertifikasi produk, yaitu Lembaga Sertifikasi Produk (LS Pro) harus didukung oleh laboratorium penguji yang kompeten untuk keseluruhan parameter SNI yang diajukan. Kompetensi laboratorium penguji pendukung dibuktikan dengan:
- Akreditasi KAN, atau
- Akreditasi badan akreditasi lain yang telah menandatangani Mutual Recognition Arrangements (MRA) of Asia Pacific Laboratoriumoratory Accreditation Cooperation (APLAC)/ International Laboratory Accreditation Cooperation (ILAC) sesuai dengan lingkup akreditasi, atau
- Akreditasi badan lain yang telah menandatangani MRA dengan KAN, atau
- Penelitian yang dilakukan oleh LSPro terhadap laboratorium penguji.
Akreditasi laboratorium pengujian mengacu pada ISO Lab. 17025: 2005, yaitu standar internasional untuk pengujian dan kalibrasi laboratorium. Apabila metode uji tidak sesuai SNI, maka divalidasi secara ekuivalen (uji profisiensi). Produk yang belum ada SNI, seperti: Halal, misal lemak babi di dalam kuah bakso.
Mutual Recognition Arrangement (MRA) diperlukan karena hasil penelitian akan diakui di negara-negara yang menandatangani MRA.
Penjaminan mutu hasil uji di LPPT:
- Menggunakan penjaminan Mutu internal dengan CRM atau retained sample.
- Uji replika.
- Uji banding.
- Berpartisipasi dalam uji profisiensi.
Laboratorium yang belum terakreditasi dapat melakukan afiliasi dengan LPPT untuk mendapatkan standar pengujian yang sama dengan LPPT, seperti: laboratorium kimia, minyak bumi dan gas, susu (peternakan) dan farmasi.
Beberapa hal yang didiskusikan adalah sebagai berikut:
- Luar lingkup baru yang diuji di LPPT karena dari presentasi banyak fokus di makanan.
- Banyak laboratorium di UGM, selain LPPT yang belum terakreditasi.
- Pembuatan standard. Cara membuat produk menjadi SNI.
- Model afiliasi. Industri membutuhkan stamp sampel produk, untuk produk siap dikomersialisasi.
Dari diskusi tersebut, dapat diambil kesimpulan:
- PUI harus membuat sistem, dimana LPPT menjadi uji kedua. Laboratorium fakultas di UGM hanya untuk dikembangkan sebagai alat praktikum.
- PUI memiliki form yang sudah sesuai paten dengan bekerjasama dengan LPPT.
Dit. PUI, apabila memungkin membentuk sub. Divisi baru khusus sertifikasi, karena LPPT bukan lembaga sertifikasi.