Indonesia telah memetakan 15 penyakit mematikan di Indonesia. Menurut data IHME Global Burden of Disease tahun 2019, Top 7 penyakit yang mematikan di Indonesia secara berurutan yaitu jantung (penyakit kardiovaskular), kanker, penyakit pencernaan, diabetes mellitus, ISPA, radang liver, dan tuberculosis. Pengidap penyakit yang berprevalensi tinggi ini mayoritas mendapatkan akses pengobatan berupa alat kesehatan dan obat. Menurut data Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/6485/2021 tentang Formularium Nasional terdapat 12 obat yang termasuk pada daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan digunakan sebagai acuan penulisan resep pada pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan. Obat-obatan tersebut berfungsi untuk menangani sebagian besar 15 penyakit mematikan di Indonesia. Nama obat tersebut antara lain Tosilizumab, Rituksimab, Setuksimab, Trastuzumab, Faktor koagulasi II, faktor koagulasi VII, faktor koagulasi IX, faktor koagulasi X, Eritropoietin-alfa, Eritropoietin-beta, Faktor VIIa (rekombinan), Faktor VIII (konsentrat), Faktor IX kompleks, albumin, serta insulin.
Obat-obatan tersebut sayangnya sebagian besar masih berupa obat impor. Nilai impor ini cukup fantastis mengingat industri obat dalam negeri belum sepenuhnya memiliki kapabilitas untuk memenuhi permintaan. Berdasarkan Data Importasi BPOM RI 2021 terdapat 20 obat impor yang menempati posisi teratas berdasarkan nilai impornya pada tahun 2021. Selama tahun 2021 dalam menghadapi pandemi, 4 dari 20 obat adalah antivirus impor yaitu Avigan, Remdac, Desrem, Covitor. Untuk keperluan pengobatan kanker dibutuhkan obat impor berupa imunoglobulin dengan nama dagang Gammaraas, antikoagulan bernama dagang Xarello, Lovenax, Privigen dan Regkirona. Tiga dari 20 top obat impor tersebut didominasi oleh produk dengan zat aktif insulin untuk pengobatan diabetes diantaranya Novorapid, Novomix 30, Lantus. Obat impor lainnya mengcover penyakit-penyakit mematikan lain. Dua Puluh daftar obat teratas dari segi nilai impor tersebut memiliki persentase 40,2% dari total nilai impor atau sebesar Rp. 3647,8 Miliar. Total Nilai Obat Impor tahun 2021 yaitu Rp. 9.058,8 Miliar.
Nilai impor obat yang tinggi ini mendorong pemerintah untuk membuat regulasi khusus. Pemerintah telah membuat regulasi dalam melindungi serta mendorong produksi obat dalam negeri yaitu tertuang pada Permenkes Nomor 1010 Tahun 2008 tentang Registrasi Obat. Pada bagian keempat mengenai registrasi obat impor yaitu pasal 9 disebutkan bahwa obat impor diutamakan untuk obat program kesehatan masyarakat, obat penemuan baru dan obat yang dibutuhkan tapi tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Selanjutnya pada pasal 10 ayat 1 menyebutkan “Registrasi obat impor dilakukan oleh industri farmasi dalam negeri yang mendapat persetujuan tertulis dari industri farmasi di luar negeri.” Pada pasal yang sama ayat 2 menyebutkan bahwa registrasi obat impor tersebut harus mencakup alih teknologi dengan ketentuan paling lambat dalam jangka waktu 5 tahun harus sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Setidaknya pemerintah mengambil jalan tengah untuk dapat mengakomodir kebutuhan dalam negeri namun tetap mendorong industri obat dan produk biologis untuk mampu memproduksi secara mandiri.
Upaya lain dalam peningkatan penggunaan produk obat produksi dalam negeri yaitu dengan menggunakan instrumen TKDN. Pemerintah telah mengaturnya melalui PP No. 29/2018 tentang Pemberdayaan Industri. Peraturan tersebut berisi kewajiban menggunakan produk dalam negeri oleh lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, lembaga pemerintah lainnya, satuan kerja perangkat daerah, serta BUMN dalam pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (nilai TKDN + BMP minimal 40% dan TKDN Minimal 25%). Selain itu terdapat juga Permenperin No. 16 Tahun 2020 mengenai Ketentuan dan Tata Cara Perhitungan Nilai TKDN Produk Farmasi.
Bila gaya hidup masyarakat Indonesia belum dapat diperbaiki untuk terhindar dari penyakit-penyakit mematikan tersebut, maka permintaan akan obat beberapa tahun ke depan akan semakin meningkat. Keuntungan demografis masyarakat Indonesia di usia produktif akan dibersamai dengan risiko terpapar penyakit mematikan bila pola pikir masyarakat belum berubah. Tantangan ekonom negara, regulator, industri obat dan produk biologis serta inventor Indonesia semakin besar untuk menghadapi risiko tersebut. Selain produktivitas generasi muda yang terancam berbahaya, ada risiko neraca keuangan yang defisit apabila nilai impor semakin besar.